Minggu, 20 Juni 2010

SEMIOTIK


Ilmu semiotik mulai dikenal pada era 19-20 sesudah masehi akan tetapi sudah ada sejak lama. Semiotik berasal dari bahasa Yunani yaitu seme atau semeiotikos yang berarti penafsir tanda (ilmu tentang tanda). Perintis awal semiotika adalah Plato yang memeriksa asal muasal bahasa dan membahas bahwa bahasa abstrak.

Semiotik menjelaskan bahwa ada perbedaan mendasar antara tanda alami (natural) contohnya mendung, dan tanda yang disepakati (konvensional) contohnya tepuk tangan. Dalam semiotik juga ada contoh tanda yang disebut symptom (gejala), misalnya dalam ilmu kedokteran, seorang dokter memeriksa penyakit dari gejala yang ada.

- St. Agustinus (354-430) mengembangkan teori tentang signa data (tanda konvensional). Persoalan tanda menjadi objek, ada tanda fisik dan tanda mental.

- William of Ockham, OFM (1285-1349) mempertajam studi tanda. Tanda dikategorikan berdasarkan sifatnya, bersifat pribadi atau untuk publik.

- John Locke (1632-1740) melihat eksplorasi tentang tanda berhubungan dengan terbentuknya logika baru. Hal ini tertuang dalam karyanya ”An Essay Concerning Human Understanding” (1690). John Locke juga merupakan pencetus teori tabularasa yang menganggap manusia pada awalnya seperti kertas polos, akan tetapi ada pula tokoh lain yakni Sokrates berkata bahwa manusia sudah ada benih kebenaran dalam dirinya sejak ia lahir.

Semiologi diciptakan dan diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure (1857-1913) yang berasal dari Swiss, mengajar sansekerta dan linguistik sejarah. Ia tidak menulis buku, sehingga muridnya menulis dan menerbitkan buku berjudul ”Cours de Linguistique Benerale”. Saussure mendefinisikan tanda linguistik yang bersifat arbitrer (suka-suka / mana suka) sebagai entitas 2 sisi yaitu penanda dan pertanda. Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk (signifien). Bahasa merupakan konvensi (kesepakatan). Tanda dapat bekerja karena adanya difference, artinya dapat dibedakan dengan tanda-tanda lainnya, ekspresi kebahasaan dan language, contohnya kata nilai dalam bahasa inggris ada 2 arti antara lain score dan value, akan tetapi score dipakai untuk menunjukkan jumlah kuantitatif sedangkan value digunakan untuk menunjukkan nilai berdasarkan sifatnya.

Charles Sanders Peirce (1839-1914) seorang filsuf Amerika menjelaskan hubungan tentang representamen (tanda) yang merupakan tanda itu sendiri, objek yaitu sesuatu yang dirujuk dari tanda dan interpretan yaitu efek dari tanda tersebut. Misalnya jika kita menunjuk sesuatu interpretannya adalah orang lain melihat kearah dimana kita menunjuk dalam arti tanda yang kita berikan dapat ditafsir. Representamen the form which the sign takes and interpretan not an interpreter but rather the sense made of the sign, object to which the sign refers. Example: Cat, the word cat is the representamen, the concept cat is the interpretant and the cat itself is the object.

Fenomena tanda yang pertama adalah firstness (perasaan murni) yang merupakan representamen, yang kedua adalah fakta yang muncul atau dari relasi yaitu objek, dan yang ketiga adalah aturan atau wilayah hukum yaitu interpretan.

Level tanda dikaitkan dengan ground (representamen) yakni terdiri dari qualisign, sinsign dan legisign. Level objek yaitu terdiri dari ikon (kemiripan) contohnya Marilyn Monroe sebagai ikon yang seksi, indeks (sebab-akibat) contohnya gambar iklan kesehatan dalam merokok yang ditunjukkan dengan gambar asap berarti tak akan ada asap kalau tak ada rokok dan symbol (kesepakatan) contohnya bendera yang disepakati sebagai lambang negara. Level interpretan dibagi menjadi tiga yaitu rheme, dicent sign dan argumen. Pierce membedakan tiga konsep dasar semiotik yaitu sistaksis, sematik dan pragmatik.

- Roland Barthes (1915-1980) berpandangan bahwa sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Membahas bahasa populer dan membangun sistem konotasi. Misalnya dalam acara ”Smack Down” yang merekonstruksi kebenaran. Semiologi Barthes pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal kecil. Dalam tanda ada denotasi (fisik) dan konotasi (makna).

- Umberto Eco seorang Katolik yang akhirnya menjadi atheis menjelaskan semiotik berarti bisa bermakna benar dan bermakna bohong dalam arti tanda yang dimunculkan bisa menampilkan kebenaran dan kebohongan.

Semiotik merupakan teori yang mempelajari tanda (alami & konveksi) untuk menggali makna (kualitatif) dan tidak historis dan bersifat subjektif. Kelebihan semiotik adalah digunakan untuk menggali tanda.


Semiotik −› Tanda −› Makna



- Saussure : Membahas linguistik

- Peirce : Membahas logika

- Barthes : Membahas ideologi/mitos

Rabu, 09 Juni 2010

Perpaduan Budaya Masyarakat Cina di Aceh




Kedatangan orang Cina ke Aceh dilatarbelakangi oleh sulitnya perekonomian di tanah leluhurnya sehingga mereka terpaksa harus bekerja keras guna mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Kontak budaya antara etnis Cina dengan masyarakat Indonesia telah berlangsung ratusan tahun. Dalam sejarah Indonesia, perbedaan antaretnis diciptakan oleh penjajah. Sehubungan dengan mental dan kebudayaan eksklusif, pemerintah Belanda menyamakan kedudukan hukum orang Tionghoa dengan orang Belanda, sehingga golongan Cina memiliki status yang lebih tinggi.

Kehadiran mereka di Aceh menyebabkan terjadinya kontak budaya antara budaya Aceh dan Cina, yang pada kenyataan keduanya mempunyai latar belakang budaya yang berbeda. Kontak budaya antara dua etnis tersebut berlangsung sampai saat ini sehingga terjadi akulturasi. Agar hubungan terjalin dengan harmonis di antara mereka, maka diperlukan pola interaksi, adaptasi, dan komunikasi yang serasi dan seimbang. Dalam buku berjudul “Etnis Cina Perantauan Di Aceh” akan dibahas mengenai komunikasi yang terjadi pada etnis Cina dengan masyarakat Aceh. Selain itu, dalam buku tersebut akan dibahas tentang bagaimana etnis Cina berakulturasi dan beradaptasi dengan masyarakat Aceh dalam berbisnis, serta mempertahankan identitas budaya kecinaannya, termasuk bahasa dan keyakinan terhadap agama mereka di tengah-tengah masyarakat Islam Aceh.

Suasana harmonis tersebut tidak berlangsung lama, karena setelah meletus peristiwa G30SPKI di Indonesia, membuat etnis Cina tidak dapat leluasa lagi pergi kemana-mana dan budaya merekapun ditentang dengan masyarakat pribumi. Selain itu pula, kecenderungan untuk bergaul menjadi sangat terbatas. Bahkan, sampai-sampai sebagian warga etnis Cina tidak tenang lagi hidup di Aceh sehingga memutuskan untuk kembali ke negara asalnya, yaitu RRC. Hal tersebut dilakukan guna menghindari konflik dengan masyarakat setempat. Tetapi ada juga warga yang tetap bertahan di Aceh dan berusaha untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan setempat.

Buku ini merupakan karya ilmiah, bukan merupakan buku bacaan popular, karena buku
ini dibuat berdasarkan hasil pengamatan penulis langsung di lapangan, yaitu di Kota Banda Aceh. Selain itu pula, penulis membuat buku dengan serius, yang dibuat berdasarkan referensi dari 262 buku dan 14 rujukan lainnya. Dengan begitu, tulisan yang dibuat oleh penulis yang bernama Abdul Rani Usman dapat dikatakan bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Di samping itu, dalam buku tersebut juga dilampirkan foto-foto mengenai bagaimana aktivitas etnis Cina selama berada di Aceh, seperti bagaimana seorang gadis etnis Cina sedang membakar hio pada acara imlek 2003 (Usman, 2009:392), dan juga dapat dilihat seorang etnis Aceh bergabung dalam Vihara, pekerjaannya adalah memukul beduk jika ada orang yang sembahyang di Vihara Dharmabakti (Usman, 2009:411). Di dalam lampiran lainnya juga disertakan bagaimana selama penulis meneliti di tempat tersebut berusaha untuk melebur dengan warga setempat, misalnya terlihat penulis sangat bersahabat saat foto dengan warga etnis Cina yang bernama Nyet dan Calvin (Usman, 2009:407; 414).

Agar tidak terjadi perselisihan di antara budaya tersebut, maka terdapat beberapa langkah bila melakukan kunjungan ke daerah lain dimana budayanya berbeda. Menurut Jason, untuk mengatasi kesulitan dalam berinteraksi atau berkomunikasi bila Dalam beradaptasi dengan orang lain, hilangkanlah stereotype, dengan tujuan untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman antara pihak-pihak yang berinteraksi.

Buku ini sangat menarik untuk dibaca karena untuk memberikan pengetahuan secara lebih mendalam mengenai komunikasi antarbudaya etnis Cina di Aceh. Selain itu juga, memberitahu kepada pembaca bagaimana perbedaan budaya yang ada bukanlah penghalang atau penghambat untuk melakukan komunikasi secara efektif, sebagaimana dalam buku ini mengisahkan bagaimana dua budaya yang berbeda, yaitu budaya Aceh dan Tionghoa menyatu di Kota Banda Aceh.

Dengan adanya buku ini, diharapkan dapat memperkaya kajian di bidang ilmu komunikasi antarbudaya dan juga mampu memperluas segi-segi teoretis komunikasi antarbudaya terutama tentang konsep-konsep hubungan antarbudaya yang terjadi dalam masyarakat majemuk. Peresensi berharap pembaca, pemerhati komunikasi antarbudaya, dan peneliti lainnya dapat memanfaatkan buku ini sebagai rujukan bila diadakan penelitian sejenis pada waktu yang akan datang.

Di samping itu pula, semoga buku ini dapat dimanfaatkan untuk memecahkan masalah komunikasi antarbudaya, terutama yang berhubungan dengan akulturasi antara dua etnis yang hidup berdampingan di suatu masyarakat yang multietnis dan multiras atau multiagama. Singkat kata, alangkah baiknya buku berjudul “Etnis Cina Perantauan di Aceh” dapat memberikan manfaat bagi orang lain yang mempunyai rasa penasaran dan mencintai budaya-budaya Bangsa Indonesia.


NAMA: MURNI A.K.
NIM: 915060019

Ilmu Tentang Tanda




Pada awalnya, Plato sebagai perintis ilmu yang mempelajari tentang tanda memeriksa asal mula bahasa dan membahas bahwa bahasa merupakan sesuatu yang abstrak. Ilmu tentang tanda atau penafsir tanda tersebut akhirnya dikenal dengan istilah ”semiotik”. Ilmu ini menjelaskan bahwa ada perbedaan yang mendasar antara tanda yang bersifat alami atau natural dengan tanda yang disepakati atau konvensional, contoh tanda natural adalah mendung, jika cuaca dan langit sedang dalam keadaan mendung maka sudah akan dipastikan bahwa akan turun hujan, sedangkan contoh tanda konvensional misalnya ketika kita berpendapat bahwa sesuatu bagus maka kita mengacungkan jari jempol kita.

Semiotik diciptakan dan diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure (1857-1913), tokoh yang berasal dari Swiss. Suatu penanda tanpa petanda tidak berarti apa-apa dan karena itu tidak merupakan tanda. Sebaliknya, suatu petanda tidak mungkin disampaikan atau ditangkap lepas dari penanda, petanda atau yang ditandakan itu termasuk tanda sendiri dan dengan demikian merupakan suatu faktor linguistik.

Tanda-tanda tersebut kemudian dimaknai sebagai wujud dalam memahami kehidupan. Manusia melalui kemampuan akalnya berupaya berinteraksi dengan menggunakan tanda sebagai alat untuk berbagai tujuan, salah satu tujuan tersebut adalah untuk berkomunikasi dengan orang lain sebagai bentuk adaptasi dengan lingkungan.

Komunikasi bukan hanya sebagai proses, melainkan komunikasi sebagai pembangkitan makna (the generation of meaning) . Ketika kita berkomunikasi dengan orang lain, setidaknya orang lain tersebut memahami maksud pesan kita, kurang kebih secara tepat. Supaya komunikasi dapat terlaksana, maka kita harus membuat pesan dalam bentuk tanda (bahasa, kata). Pesan-pesan yang kita buat, medorong orang lain untuk menciptakan makna untuk dirinya sendiri yang terkait dalam beberapa hal dengan makna yang kita buat dalam pesan kita. Semakin banyak kita berbagi kode yang sama, makin banyak kita menggunakan sistim tanda yang sama, maka makin dekatlah “makna” kita dengan orang tersebut atas pesan yang datang pada masing-masing kita dengan orang lain tersebut.

Semiotik melihat kebudayaan sebagai sistem tanda yang oleh anggota masyarakatnya diberi makna sesuai dengan konvensi yang berlaku. Kebanyakan pakar dibidang semiotik melihat semiotik hanya sebagai perangkat teori untuk mengkaji tanda, yakni sebagai sistem yang hidup dalam suatu kebudayaan. Namun ada juga yang menganggap sebagai ilmu karena sudah dapat menunjukan dirinya sebagai suatu disipilin yang mandiri, sudah memiliki perangkat metodologi yang diturunkan dari teorinya, sudah dapat menghasilkan sejumlah hipotesis dan sudah dapat digunakan untuk melakukan prediksi.

NAMA: MARLIAN
NIM: 915070150

Selasa, 08 Juni 2010

ETIKA JURNALISTIK




Jurnalistik, pada hakikatnya, melupakan peristiwa di atas peristiwa. Ketika sebuah peristiwa baru diberitakan, maka pada saat itu pula kita – secara pelan-pelan atau spontan – dilupakan kepada peristiwa lain yang terjadi sebelumnya. Di saat ia mengingatkan kita akan sebuah peristiwa, di saat itu pula ia melupakan kita akan peristiwa yang lainnya. Demikianlah siklus ini berjalan terus dari hari ke hari, jam ke jam, detik ke detik.

Jurnalistik adalah “jembatan” masyarakat dengan sebuah kejadian atau peristiwa. Jika sebuah kejadian tidak pernah diberitakan melalui media, maka besar kemungkinannya masyarakat tidak akan pernah tahu bahwa kejadian tersebut pernah berlaku.
Jurnalistik tak hanya menyampaikan “kejadian pasif” seperti bencana gempa bumi atau peristiwa kecelakaan lalu lintas, tapi jurnalistik juga menyampaikan “peristiwa aktif” seperti perseteruan politik atau bentrokan polisi dan mahasiswa. Pada saat menyampaikan “peristiwa aktif” inilah sebuah perimbangan sumber berita dari kedua pihak sangat diperlukan. Jika tidak berimbang, maka itu akan mempengaruhi penilaian masyarakat terhadap berita tersebut, yang pada gilirannya juga akan berat sebelah.

Jurnalistik bukan pengadil atau hakim atas sebuah kasus atau peristiwa. Jurnalistik hanya menyampaikan fakta, masyarakat sendirilah yang akan menilai kejadian tersebut lebih lanjut. Oleh karenanya, dalam jurnalistik tidak dibenarkan memberikan penilaian atas sebuah kasus, kecuali penilaian itu berasal dari nara sumber wawancara. Dalam menyampaikan peristiwa, jurnalistik harus menyampaikan kronologis detil peristiwa tersebut, jangan dipotong-potong.


NAMA : EKA SHINTA
NIM : 915069011

Minggu, 11 April 2010

Pertemuan VII

Problem Jurnalisme Warga


- Jurnalisme yang melibatkan dalam pencarian dan pengolaan informasi.

- Jurnalisme warga : Jurnalisme yang menempatkan warga sekarang sebagai subject.

- Medium Jurnalisme Warga??

1. Radio, televisi melakukan interaktifdengan audience.

2. Video atau Audio dari audience

3. Online media

4. Blog, twitter

  1. Fungsi media
    1. Ruang Public : ruang yang hanya relevan uantuk membicarakan urusan sosial bersama dan dibicarakan bersama-sama
    2. Institusi Sosial : media didirikan untuk memberikan informasi kepada masyarakat (mengembangkan kepentingan public)

- Isi Media sebagai ruang public

1. Berita (Ruang Public)

· Berita (dalam berbagai format)

· Wawancara

· Talk Show

Parameter

· Nilai berita

· Kode etik

2. Non berita (Ruang Privat?)

· Opini

· Surat pembaca

· Iklan

Parameter

· Kepantasan ruan publik

· Profesionalitas

· Kode etik

- Nilai berita (News Value)

1. Akutualitas

2. Akurasi

3. Keberimbangan

4. Relevansi public

5. Prominensi

6. Magnitude

7. Proksimitas

8. Kompetensi sumbaer

9. Konflik

- Kode Etik Jurnalisti

1. Berita tidak boleh berprasangka

2. mengandung konfirmasi

3. tidak sarkastis, sadistis, pornografis

4. menggunakan bahasa yang benar

- Apakah jurnalisme warga tidak dilakukan berdasarkan nilai-nilai berita dan kode etik?

- Dilema Jurnalisme Warga

1. Kecepatan vs kelengkapan dan kedalaman.

2. Partisipasi vs Esensi/kualitas jurnalistik.

3. Ruang privat vs ruang publik.

4. Urusan privat vs urusan publik

- Urgensi Jurnalisme Warga

1. Keterlibatan ruang untuk partisipasi pol. Warga

2. Pemberitaan media yang elitis : tidak banyak menyentuh urusan-urusan masyarakat di akar rumput.

3. pemilihan sumber berita pada pemberitaan media yang melulu berorientasi kepada sumber-sumber elit : Pemerintah, DPR, Pakar, Intelektual.

- Autisme Media

1. Media yang asik dengan dirinya sendiri

2. menentukan skala prioritas pemberitaan pertama-tama bedasarkan agenda, nilai.

3. media yang tidak benar

- Apa yang perlu dilakukan :

Siapapun pelaku jurnalisme warga harus memahahi benar kode etik jurnalisme.

Rabu, 07 April 2010

Pertemuan VI

Pertemuan V

“Pembangunan Sosial Budaya”

- Perkembangan yang pesat dan semakin responsif terhadap kebutuhan dan perubahan dalam masyarakat.

- Sebagai konsekuensinya, sudah selayaknya pemerintah kota memiliki rencana pembangunan sosial budaya yang dinamis, yang dapat menjawab kebutuhan masyarakat, sejalan dengan tujuan reformasi menuju masyarakat yang demokratis dan sejahtera.

- Pembangunsn Sosial Budaya harus berpijak kepada komitmen untuk menerapkan konsep dan pendekatan pembangunan sosial sebagai proses humanisasi.

- Peduli terhadap aspirasi dan potensi masyarakat lokal yang berupa modal sosial, modal insani dan sumber daya alam yang dapat dikerahkan bagi kesejahteraan masyarakat.

- Perencanaan dan pelaksana pembangunan yang memiliki sikap, pengetahuan dan teknologi untuk menerapkan pembangunan sosial sebagai suatu pendekatan.

- Pembangunan sosial budaya menghasilkan tenaga pembangunan, yang mampu mendorong partisapasi masyarakat bagi suatu pembangunan yang berkelanjutan.

- Pemerintah mempunyai tanggung jawab agar demokratisasi dan kesejahteraan dapat terwujud. Adapun yang dapat dilakukan Pemerintah Kota, melalui kegiatan seperti pelayanan dan pengabdian masyarakat serta program beasiswa bagi yang tidak mampu.

- Mentalitas Masyarakat Statik
• Mentalitas masyarakat statik: orientasi kebelakang, lebih terpukau oleh masa lampau yang gemerlapan sebagaimana dalam sejarah – sejarah lama, tetapi kurang tanggap terhadap masa depan yang lebih faktual sebagai tantangan.
• Fatalistik, menyerah pada nasib, ini pun produk dari sejarah kemiskinan dan kesengsaraan umumnya yang kronis.
• Menimbulkan ketidakpercayaan diri dan ketergantungan yang besar terhadap entitas – entitas dominan.
• Kurang inovatif dan kreatif. Dalam masyarakat statik memang sulit untuk berinovasi dan berkreasi yang bermakna bagi kesejahteraan masyarakat secara luas.

- Karakter Masyarakat Statik
• Sifat indolent, lamban atau malas, banyak orang tidak merasa dikejar waktu. Beranjak dengan cepat pun tiada gunanya karena keseluruhan sistem sosial tidak mendukung atau memberikan perangsang baginya.
• Pola pikir tidak menghargai waktu atau menguasai waktu berjalan linier pula dengan pemikiran diakronik ataupun cyclus.

- Mentalitas Statik
• Menilai tinggi dan mempertahankan adat istiadat dan aturan serta prosedur.
• Kurang sadar mutu, karena terlampau terpikat pada apa yang sudah ada dan dianggap terbaik, maka mentalitas bekerja asal selesai dan asal ada hasilnya sangat menonjol.
• Sikap tertutup, kurang terbuka pada yang lain atau yang datang dari luar merupakan sikap dan perilaku yang khas.
• Pikiran atau pandangan dan cara – cara alternatif sebagai bahan pengambilan keputusan kurang dikenal dan agak sulit meyakonkan pada orang bermentalitas tradisionalistik.
• Mentalitas kebersamaan sangat menonjol dibanding individual . kebersamaan itu sendiri sebagai sikap dan perilaku memang mengandung nilai – nilai yang baik .
• Namun jika direntang terlampau jauh, memang menimbulkan mentalitas Konformisme dan penyakit ketergantungan serta mematikan sikap kemandirian.

Pertemuan IV

Leadeship dan Komunikasi

Dosen : Bpk. Paninto

Tokoh

· Soekarno

· Soeharto

· B.J. Habibie

· K.H. Abdurachman W.

· Megawati Soekarno Putri

· Susilo Bambang Yudhoyono

· Obama (presiden Amerika Serikat)

· Margareth L. (perdana mentri Inggris)

Rapat DPR Memalukan

Mereka sebagai public figure, apa yang mereka lakukan akan menjadi contoh. Tetapi pada saat rapat apa yang mereka lakukan ering kali memalukan. Notabene menjadi wakil rakyat, tetapi mereka hidup tidak merakyat (high class).

Sidang DPR ricuh, “Tingkat peradaban kita masih agak kampung” ungkap jimmy.

Resonansi

Mark Loehr, Peristiwa WTC 11 september 2001

Resonansi adalah mengemukakan suara, ada yang disebut seresonansi (sumbang)

Mark Loehr seorang exekutif perusahaan teknologi kaya, menyatakan bahwa ia menyumbang $1.000.000 dan mengirim email kepada teman-temannya untuk memberikan sumbangan. Ini yang disebut dengan resonansi.

4 Inti / DOMAIN kecerdasan emosi dan kompetensi diri yang terkait.


  1. Kompetensi Pribadi:

kemampuan-kemampuan ini menentukan bagaimana kita mengelola diri kita sendiri.

Kesadaran diri:

- Kesadaran diri emosi » kesadaran diri emosi yaitu membaca diri sendiri dan mengenali dampaknya.

- Penilaian diri yang akurat » mengetahui kekuatan dan keterbatasan diri.

- Kepercayaan diri » kepekaan yang sehat mengenai harga diri dan kemampuan diri.

Pengelolaan diri:

- Kendali diri emosi » mengendalikan emosi dan dorongan yang meledak-ledak.

- Transparansi » menunjukan kejujuran dan integritas; kelayakan untuk dipercaya.

- Kemampuan menyesuaikan diri » kelenturan dalam beradaptasi dengan perubahan situasi atau mengatasi perubahan.

- Pencapaian » dorongan untuk memperbaiki kinerja untuk memenuhi standar prestasi yang ditentukan oleh diri sendiri.

- Inisiatif » kesiapan untuk bertindak dan menggunakan kesempatan.

- Optimisme » Melihat sisi positif suatu peristiwa.

2. Kompetensi sosial:

kemampuan ini menentukan bagaimana kita mengelola hubungan.

Kesadaran Sosial:

- Empati » merasakan emosi orang lain

- Kesadaran organisasi » membaca apa yang terjadi.

- Pelayanan » mengenai dan memenuhi kebutuhan pengikut, klien atau pelanggan.

Pengelolaan Relasi :

- Kepemimpinana yang inspirasi

- Pengeruh

- Mengembangkan orang lain

- Katalis perubahan

- Pengelolaaan konflik

- Membangun ikatan

- Kerja kelompok dan kolborasi.


Gaya Kepemimpinan (Membangun Resonansi)

- Visioner:

  1. Bagaimana gaya ini membangun resonansi: menggerakan orang-2 arah impian bersama.
  2. dampak terhadap iklim emosi paling positif
  3. kapan penggunaan yang tepat: ketika perubahan membutuhkan visi baru atau ketika dibutuhkan dengan jelas.

- Pembimbing

  1. Bagaimana gaya ini membangun Resonansi : Menghubungkan apa yang diinginkan seorang – 2 dengan sasaran organisasi
  2. dampak terhadap iklim emosi sangat positif.
  3. kapan penggunaan yang tepat : Ketika membantu karyawan.

Neurologi Kepemimpinan (Fungsi Otak)

  • Fungsi Otak kiri
  1. Pemikiran analistik
  2. Logika
  3. Bahasa
  4. Sains & Matematik

  • Fungsi otak kanan
  1. Pemikir holistik.
  2. Inuisi/insting
  3. Kreatifitas
  4. Seni dan musik

Emosi

1. Limbic System

- Cingulate cortex

- Femix

- Frontal cortex

- Septum

- Olfactory bulb

- Mammilliary body

- Amygdala

- Corpus

Menurut Dr.Kenneth Lyen setidaknya ada 7 penyakit :

  1. Dileksia : Gangguan belajar yang ditandai dengan kesulitan mengenali dan memahami bahasa tertulis ketika membaca, menulis dan mengeja.
  2. Bipolar : Penyakit bipolar atau Bipolar disorder, selain itu dikenal sebagai manic depression atau bipolar depression, adalah penyakit suasan hati (keadaan jiwa) yang relatif umum.
  3. Schizofrenia : Sebuah penyakit otak yang mengakibatkan perubahan perilaku dramatis terjadi dalam waktu beberapa hari atau minggu atau bertahun-tahun lamanya. Halusinasi selalu terjadi saat rangsangan terlalu kuat dan otak tidak mampu menginterpretasikan dan merespon pesan/rangsangan yang datang.
  4. Obsesif – Compulsive Disurder : Tekanan untuk berfikir dan berperilaku terus memerus.
  5. Autistic Savant : Menghitung cepat, kemampuan mekanik, seni lukis atau patung, musik.
  6. terminal illness : Penyakit terminal dapat memicu respons emosional yang luar biasa pada penderitamya.
  7. Epilepsi : atau ayan adalah suatu gangguan saraf yang timbul secara mendadak dan biasanya berkala dengan perubahan kesadaran.

Pertemuan III

Pertemuan II

“Perbedaan Komunikasi Gender”

- A gender difference is a distinction of biological and / or physiological characteristics typically associated with either males or females of a species in general.

- Gender and sex are not synonyms.

- "Women" and "men" refer to sex.

- "Feminine" and "masculine" refer to gender.

- Women, men, male, and female are words that specify sexual identities, which biology determines."

- The gender distinctions of masculine and feminine are based on socially constructed meanings for sex.

- From conception to death, but particularly before adulthood, females are less vulnerable than males to developmental difficulties and chronic illnesses.

- This could be due to females having two x chromosomes instead of just one or in the reduced exposure to testosterone.

- Communication
• Masculine and feminine cultures and individuals generally differ in how they communicate with others.
• For example, feminine people tend to self-disclose more often than masculine people, and in more intimate details.
• Feminine people tend to communicate more affection, and with greater intimacy and confidence than masculine people.
• Generally speaking, feminine people communicate more and prioritize communication more than masculine.
• Traditionally, masculine people and feminine people communicate with people of their own gender in different ways.
• Masculine people form friendships with other masculine people based on common interests, while feminine people build friendships with other feminine people based on mutual support.
• Both genders initiate opposite-gender friendships based on the same factors. These factors include proximity, acceptance, effort, communication, common interests, affection and novelty.
• Context is very important when determining how we communicate with others. It is important to understand what script it is appropriate to use in each respective relationship.
• Feminine people do not mind communicating weakness and vulnerability. In fact, they seek out friendships more in these times.
• For this reason, feminine people often feel closer to their friends than masculine people do.
• Feminine people tend to value their friends for listening and communicating non-critically, communicating support, communicating feelings of enhances self-esteem, communicating validation, offering comfort and contributing to personal growth.
• Feminine people tend to communicate with each other face-to-face (i.e. meeting together to talk over lunch).
• Communicating with a friend of the opposite gender is often difficult because of the fundamentally different scripts that masculine people and feminine people use in their friendships.
• Another challenge in these relationships is that masculine people associate physical contact with communicating sexual desire more than feminine people.
• Masculine people also desire sex in their opposite-gender relationships more than feminine people.
• This presents serious challenges in cross-gender friendship communication.
• In order to overcome these challenges, the two parties must communicate openly about the boundaries of the relationship.

- Communication and gender cultures
• A communication culture is a group of people with an existing set of norms regarding how they communicate with each other.
• These cultures can be categorized as masculine or feminine. Other communication cultures include African Americans, older people, Indian Native Americans, gay men, lesbians, and people with disabilities.
• Gender cultures are primarily created and sustained by interaction with others. Through communication we learn about what qualities and activities our culture prescribes to our sex.
• While it is commonly believed that our sex is the root source of differences and how we relate and communicate to others, it is actually gender that plays a larger role.
• Whole cultures can be broken down into masculine and feminine, each differing in how they get along with others through different styles of communication.
• Julia T. Wood's studies explain that "communication produces and reproduces cultural definitions of masculinity and femininity."
• Masculine and feminine cultures differ dramatically in when, how and why they use communication. In order to communicate effectively across cultures and genders, we must bridge these communication gaps.

- Communication styles
Deborah Tannen’s studies found these gender differences in communication styles:
• Masculine people tend to talk more than feminine people in public situations, but feminine people tend to talk more than masculine people at home.
• Feminine people are more inclined to face each other and make eye contact when talking, while masculine people are more likely to look away from each other.
• Masculine people tend to jump from topic to topic, but feminine people tend to talk at length about one topic.
• When listening, women make more noises such as “mm-hmm” and “uh-huh”, while masculine people are more likely to listen silently.
• Feminine people are inclined to express agreement and support, while masculine people are more inclined to debate.

- Finally, Wood describes how different genders can communicate to one another and provides six suggestions to do so.

- Individuals should suspend judgment. When a person finds his or herself confused in a cross-gender conversation, he or she should resist the tendency to judge and instead explore what is happening and how that person and their partner might better understand each other.

- Recognize the validity of different communication styles. Feminine tendency to emphasize relationships, feelings and responsiveness does not reflect inability to adhere to masculine rules for competing any more than masculine stress on instrumental outcomes is a failure to follow feminine rules for sensitivity to others. Wood says that it is inappropriate to apply a single criterion - either masculine or feminine - to both genders' communication. Instead, people must realize that different goals, priorities and standards pertain to each.

- Provide translation cues. Following the previous suggestions helps individuals realize that masculine and feminine people tend to learn different rules for interaction and that it makes sense to think about helping the other gender translate your communication. This is especially important because there is no reason why one gender should automatically understand the rules that are not part of his or her gender culture.

- Seek translation cues. Interactions can also be improved by seeking translation cues from others. Taking constructive approaches to interactions can help improve the opposite gender culture's reaction.

- Enlarge your own communication style. By studying other culture's communication we learn not only about other cultures, but also about ourselves. Being open to learning and growing can enlarge one's own communication skills by incorporating aspects of communication emphasized in other cultures. According to Wood, individuals socialized into masculinity could learn a great deal from feminine culture about how to support friends. Likewise, feminine cultures could expand the ways they experience intimacy by appreciating "closeness in doing" that is a masculine specialty.

- Wood reiterates again, as her sixth suggestion, that individuals should suspend judgment. This concept is incredibly important effective cross-gender communication. because judgment is such a part of Western culture that it is difficult not to evaluate and critique others and defend our own positions. While gender cultures are busy judging other gender cultures and defending themselves, they are making no headway in communicating effectively. So, suspending judgment is the first and last principle for.

Pertemuan I