Rabu, 09 Juni 2010

Perpaduan Budaya Masyarakat Cina di Aceh




Kedatangan orang Cina ke Aceh dilatarbelakangi oleh sulitnya perekonomian di tanah leluhurnya sehingga mereka terpaksa harus bekerja keras guna mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Kontak budaya antara etnis Cina dengan masyarakat Indonesia telah berlangsung ratusan tahun. Dalam sejarah Indonesia, perbedaan antaretnis diciptakan oleh penjajah. Sehubungan dengan mental dan kebudayaan eksklusif, pemerintah Belanda menyamakan kedudukan hukum orang Tionghoa dengan orang Belanda, sehingga golongan Cina memiliki status yang lebih tinggi.

Kehadiran mereka di Aceh menyebabkan terjadinya kontak budaya antara budaya Aceh dan Cina, yang pada kenyataan keduanya mempunyai latar belakang budaya yang berbeda. Kontak budaya antara dua etnis tersebut berlangsung sampai saat ini sehingga terjadi akulturasi. Agar hubungan terjalin dengan harmonis di antara mereka, maka diperlukan pola interaksi, adaptasi, dan komunikasi yang serasi dan seimbang. Dalam buku berjudul “Etnis Cina Perantauan Di Aceh” akan dibahas mengenai komunikasi yang terjadi pada etnis Cina dengan masyarakat Aceh. Selain itu, dalam buku tersebut akan dibahas tentang bagaimana etnis Cina berakulturasi dan beradaptasi dengan masyarakat Aceh dalam berbisnis, serta mempertahankan identitas budaya kecinaannya, termasuk bahasa dan keyakinan terhadap agama mereka di tengah-tengah masyarakat Islam Aceh.

Suasana harmonis tersebut tidak berlangsung lama, karena setelah meletus peristiwa G30SPKI di Indonesia, membuat etnis Cina tidak dapat leluasa lagi pergi kemana-mana dan budaya merekapun ditentang dengan masyarakat pribumi. Selain itu pula, kecenderungan untuk bergaul menjadi sangat terbatas. Bahkan, sampai-sampai sebagian warga etnis Cina tidak tenang lagi hidup di Aceh sehingga memutuskan untuk kembali ke negara asalnya, yaitu RRC. Hal tersebut dilakukan guna menghindari konflik dengan masyarakat setempat. Tetapi ada juga warga yang tetap bertahan di Aceh dan berusaha untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan setempat.

Buku ini merupakan karya ilmiah, bukan merupakan buku bacaan popular, karena buku
ini dibuat berdasarkan hasil pengamatan penulis langsung di lapangan, yaitu di Kota Banda Aceh. Selain itu pula, penulis membuat buku dengan serius, yang dibuat berdasarkan referensi dari 262 buku dan 14 rujukan lainnya. Dengan begitu, tulisan yang dibuat oleh penulis yang bernama Abdul Rani Usman dapat dikatakan bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Di samping itu, dalam buku tersebut juga dilampirkan foto-foto mengenai bagaimana aktivitas etnis Cina selama berada di Aceh, seperti bagaimana seorang gadis etnis Cina sedang membakar hio pada acara imlek 2003 (Usman, 2009:392), dan juga dapat dilihat seorang etnis Aceh bergabung dalam Vihara, pekerjaannya adalah memukul beduk jika ada orang yang sembahyang di Vihara Dharmabakti (Usman, 2009:411). Di dalam lampiran lainnya juga disertakan bagaimana selama penulis meneliti di tempat tersebut berusaha untuk melebur dengan warga setempat, misalnya terlihat penulis sangat bersahabat saat foto dengan warga etnis Cina yang bernama Nyet dan Calvin (Usman, 2009:407; 414).

Agar tidak terjadi perselisihan di antara budaya tersebut, maka terdapat beberapa langkah bila melakukan kunjungan ke daerah lain dimana budayanya berbeda. Menurut Jason, untuk mengatasi kesulitan dalam berinteraksi atau berkomunikasi bila Dalam beradaptasi dengan orang lain, hilangkanlah stereotype, dengan tujuan untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman antara pihak-pihak yang berinteraksi.

Buku ini sangat menarik untuk dibaca karena untuk memberikan pengetahuan secara lebih mendalam mengenai komunikasi antarbudaya etnis Cina di Aceh. Selain itu juga, memberitahu kepada pembaca bagaimana perbedaan budaya yang ada bukanlah penghalang atau penghambat untuk melakukan komunikasi secara efektif, sebagaimana dalam buku ini mengisahkan bagaimana dua budaya yang berbeda, yaitu budaya Aceh dan Tionghoa menyatu di Kota Banda Aceh.

Dengan adanya buku ini, diharapkan dapat memperkaya kajian di bidang ilmu komunikasi antarbudaya dan juga mampu memperluas segi-segi teoretis komunikasi antarbudaya terutama tentang konsep-konsep hubungan antarbudaya yang terjadi dalam masyarakat majemuk. Peresensi berharap pembaca, pemerhati komunikasi antarbudaya, dan peneliti lainnya dapat memanfaatkan buku ini sebagai rujukan bila diadakan penelitian sejenis pada waktu yang akan datang.

Di samping itu pula, semoga buku ini dapat dimanfaatkan untuk memecahkan masalah komunikasi antarbudaya, terutama yang berhubungan dengan akulturasi antara dua etnis yang hidup berdampingan di suatu masyarakat yang multietnis dan multiras atau multiagama. Singkat kata, alangkah baiknya buku berjudul “Etnis Cina Perantauan di Aceh” dapat memberikan manfaat bagi orang lain yang mempunyai rasa penasaran dan mencintai budaya-budaya Bangsa Indonesia.


NAMA: MURNI A.K.
NIM: 915060019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar