Minggu, 20 Juni 2010

SEMIOTIK


Ilmu semiotik mulai dikenal pada era 19-20 sesudah masehi akan tetapi sudah ada sejak lama. Semiotik berasal dari bahasa Yunani yaitu seme atau semeiotikos yang berarti penafsir tanda (ilmu tentang tanda). Perintis awal semiotika adalah Plato yang memeriksa asal muasal bahasa dan membahas bahwa bahasa abstrak.

Semiotik menjelaskan bahwa ada perbedaan mendasar antara tanda alami (natural) contohnya mendung, dan tanda yang disepakati (konvensional) contohnya tepuk tangan. Dalam semiotik juga ada contoh tanda yang disebut symptom (gejala), misalnya dalam ilmu kedokteran, seorang dokter memeriksa penyakit dari gejala yang ada.

- St. Agustinus (354-430) mengembangkan teori tentang signa data (tanda konvensional). Persoalan tanda menjadi objek, ada tanda fisik dan tanda mental.

- William of Ockham, OFM (1285-1349) mempertajam studi tanda. Tanda dikategorikan berdasarkan sifatnya, bersifat pribadi atau untuk publik.

- John Locke (1632-1740) melihat eksplorasi tentang tanda berhubungan dengan terbentuknya logika baru. Hal ini tertuang dalam karyanya ”An Essay Concerning Human Understanding” (1690). John Locke juga merupakan pencetus teori tabularasa yang menganggap manusia pada awalnya seperti kertas polos, akan tetapi ada pula tokoh lain yakni Sokrates berkata bahwa manusia sudah ada benih kebenaran dalam dirinya sejak ia lahir.

Semiologi diciptakan dan diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure (1857-1913) yang berasal dari Swiss, mengajar sansekerta dan linguistik sejarah. Ia tidak menulis buku, sehingga muridnya menulis dan menerbitkan buku berjudul ”Cours de Linguistique Benerale”. Saussure mendefinisikan tanda linguistik yang bersifat arbitrer (suka-suka / mana suka) sebagai entitas 2 sisi yaitu penanda dan pertanda. Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk (signifien). Bahasa merupakan konvensi (kesepakatan). Tanda dapat bekerja karena adanya difference, artinya dapat dibedakan dengan tanda-tanda lainnya, ekspresi kebahasaan dan language, contohnya kata nilai dalam bahasa inggris ada 2 arti antara lain score dan value, akan tetapi score dipakai untuk menunjukkan jumlah kuantitatif sedangkan value digunakan untuk menunjukkan nilai berdasarkan sifatnya.

Charles Sanders Peirce (1839-1914) seorang filsuf Amerika menjelaskan hubungan tentang representamen (tanda) yang merupakan tanda itu sendiri, objek yaitu sesuatu yang dirujuk dari tanda dan interpretan yaitu efek dari tanda tersebut. Misalnya jika kita menunjuk sesuatu interpretannya adalah orang lain melihat kearah dimana kita menunjuk dalam arti tanda yang kita berikan dapat ditafsir. Representamen the form which the sign takes and interpretan not an interpreter but rather the sense made of the sign, object to which the sign refers. Example: Cat, the word cat is the representamen, the concept cat is the interpretant and the cat itself is the object.

Fenomena tanda yang pertama adalah firstness (perasaan murni) yang merupakan representamen, yang kedua adalah fakta yang muncul atau dari relasi yaitu objek, dan yang ketiga adalah aturan atau wilayah hukum yaitu interpretan.

Level tanda dikaitkan dengan ground (representamen) yakni terdiri dari qualisign, sinsign dan legisign. Level objek yaitu terdiri dari ikon (kemiripan) contohnya Marilyn Monroe sebagai ikon yang seksi, indeks (sebab-akibat) contohnya gambar iklan kesehatan dalam merokok yang ditunjukkan dengan gambar asap berarti tak akan ada asap kalau tak ada rokok dan symbol (kesepakatan) contohnya bendera yang disepakati sebagai lambang negara. Level interpretan dibagi menjadi tiga yaitu rheme, dicent sign dan argumen. Pierce membedakan tiga konsep dasar semiotik yaitu sistaksis, sematik dan pragmatik.

- Roland Barthes (1915-1980) berpandangan bahwa sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Membahas bahasa populer dan membangun sistem konotasi. Misalnya dalam acara ”Smack Down” yang merekonstruksi kebenaran. Semiologi Barthes pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal kecil. Dalam tanda ada denotasi (fisik) dan konotasi (makna).

- Umberto Eco seorang Katolik yang akhirnya menjadi atheis menjelaskan semiotik berarti bisa bermakna benar dan bermakna bohong dalam arti tanda yang dimunculkan bisa menampilkan kebenaran dan kebohongan.

Semiotik merupakan teori yang mempelajari tanda (alami & konveksi) untuk menggali makna (kualitatif) dan tidak historis dan bersifat subjektif. Kelebihan semiotik adalah digunakan untuk menggali tanda.


Semiotik −› Tanda −› Makna



- Saussure : Membahas linguistik

- Peirce : Membahas logika

- Barthes : Membahas ideologi/mitos

Rabu, 09 Juni 2010

Perpaduan Budaya Masyarakat Cina di Aceh




Kedatangan orang Cina ke Aceh dilatarbelakangi oleh sulitnya perekonomian di tanah leluhurnya sehingga mereka terpaksa harus bekerja keras guna mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Kontak budaya antara etnis Cina dengan masyarakat Indonesia telah berlangsung ratusan tahun. Dalam sejarah Indonesia, perbedaan antaretnis diciptakan oleh penjajah. Sehubungan dengan mental dan kebudayaan eksklusif, pemerintah Belanda menyamakan kedudukan hukum orang Tionghoa dengan orang Belanda, sehingga golongan Cina memiliki status yang lebih tinggi.

Kehadiran mereka di Aceh menyebabkan terjadinya kontak budaya antara budaya Aceh dan Cina, yang pada kenyataan keduanya mempunyai latar belakang budaya yang berbeda. Kontak budaya antara dua etnis tersebut berlangsung sampai saat ini sehingga terjadi akulturasi. Agar hubungan terjalin dengan harmonis di antara mereka, maka diperlukan pola interaksi, adaptasi, dan komunikasi yang serasi dan seimbang. Dalam buku berjudul “Etnis Cina Perantauan Di Aceh” akan dibahas mengenai komunikasi yang terjadi pada etnis Cina dengan masyarakat Aceh. Selain itu, dalam buku tersebut akan dibahas tentang bagaimana etnis Cina berakulturasi dan beradaptasi dengan masyarakat Aceh dalam berbisnis, serta mempertahankan identitas budaya kecinaannya, termasuk bahasa dan keyakinan terhadap agama mereka di tengah-tengah masyarakat Islam Aceh.

Suasana harmonis tersebut tidak berlangsung lama, karena setelah meletus peristiwa G30SPKI di Indonesia, membuat etnis Cina tidak dapat leluasa lagi pergi kemana-mana dan budaya merekapun ditentang dengan masyarakat pribumi. Selain itu pula, kecenderungan untuk bergaul menjadi sangat terbatas. Bahkan, sampai-sampai sebagian warga etnis Cina tidak tenang lagi hidup di Aceh sehingga memutuskan untuk kembali ke negara asalnya, yaitu RRC. Hal tersebut dilakukan guna menghindari konflik dengan masyarakat setempat. Tetapi ada juga warga yang tetap bertahan di Aceh dan berusaha untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan setempat.

Buku ini merupakan karya ilmiah, bukan merupakan buku bacaan popular, karena buku
ini dibuat berdasarkan hasil pengamatan penulis langsung di lapangan, yaitu di Kota Banda Aceh. Selain itu pula, penulis membuat buku dengan serius, yang dibuat berdasarkan referensi dari 262 buku dan 14 rujukan lainnya. Dengan begitu, tulisan yang dibuat oleh penulis yang bernama Abdul Rani Usman dapat dikatakan bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Di samping itu, dalam buku tersebut juga dilampirkan foto-foto mengenai bagaimana aktivitas etnis Cina selama berada di Aceh, seperti bagaimana seorang gadis etnis Cina sedang membakar hio pada acara imlek 2003 (Usman, 2009:392), dan juga dapat dilihat seorang etnis Aceh bergabung dalam Vihara, pekerjaannya adalah memukul beduk jika ada orang yang sembahyang di Vihara Dharmabakti (Usman, 2009:411). Di dalam lampiran lainnya juga disertakan bagaimana selama penulis meneliti di tempat tersebut berusaha untuk melebur dengan warga setempat, misalnya terlihat penulis sangat bersahabat saat foto dengan warga etnis Cina yang bernama Nyet dan Calvin (Usman, 2009:407; 414).

Agar tidak terjadi perselisihan di antara budaya tersebut, maka terdapat beberapa langkah bila melakukan kunjungan ke daerah lain dimana budayanya berbeda. Menurut Jason, untuk mengatasi kesulitan dalam berinteraksi atau berkomunikasi bila Dalam beradaptasi dengan orang lain, hilangkanlah stereotype, dengan tujuan untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman antara pihak-pihak yang berinteraksi.

Buku ini sangat menarik untuk dibaca karena untuk memberikan pengetahuan secara lebih mendalam mengenai komunikasi antarbudaya etnis Cina di Aceh. Selain itu juga, memberitahu kepada pembaca bagaimana perbedaan budaya yang ada bukanlah penghalang atau penghambat untuk melakukan komunikasi secara efektif, sebagaimana dalam buku ini mengisahkan bagaimana dua budaya yang berbeda, yaitu budaya Aceh dan Tionghoa menyatu di Kota Banda Aceh.

Dengan adanya buku ini, diharapkan dapat memperkaya kajian di bidang ilmu komunikasi antarbudaya dan juga mampu memperluas segi-segi teoretis komunikasi antarbudaya terutama tentang konsep-konsep hubungan antarbudaya yang terjadi dalam masyarakat majemuk. Peresensi berharap pembaca, pemerhati komunikasi antarbudaya, dan peneliti lainnya dapat memanfaatkan buku ini sebagai rujukan bila diadakan penelitian sejenis pada waktu yang akan datang.

Di samping itu pula, semoga buku ini dapat dimanfaatkan untuk memecahkan masalah komunikasi antarbudaya, terutama yang berhubungan dengan akulturasi antara dua etnis yang hidup berdampingan di suatu masyarakat yang multietnis dan multiras atau multiagama. Singkat kata, alangkah baiknya buku berjudul “Etnis Cina Perantauan di Aceh” dapat memberikan manfaat bagi orang lain yang mempunyai rasa penasaran dan mencintai budaya-budaya Bangsa Indonesia.


NAMA: MURNI A.K.
NIM: 915060019

Ilmu Tentang Tanda




Pada awalnya, Plato sebagai perintis ilmu yang mempelajari tentang tanda memeriksa asal mula bahasa dan membahas bahwa bahasa merupakan sesuatu yang abstrak. Ilmu tentang tanda atau penafsir tanda tersebut akhirnya dikenal dengan istilah ”semiotik”. Ilmu ini menjelaskan bahwa ada perbedaan yang mendasar antara tanda yang bersifat alami atau natural dengan tanda yang disepakati atau konvensional, contoh tanda natural adalah mendung, jika cuaca dan langit sedang dalam keadaan mendung maka sudah akan dipastikan bahwa akan turun hujan, sedangkan contoh tanda konvensional misalnya ketika kita berpendapat bahwa sesuatu bagus maka kita mengacungkan jari jempol kita.

Semiotik diciptakan dan diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure (1857-1913), tokoh yang berasal dari Swiss. Suatu penanda tanpa petanda tidak berarti apa-apa dan karena itu tidak merupakan tanda. Sebaliknya, suatu petanda tidak mungkin disampaikan atau ditangkap lepas dari penanda, petanda atau yang ditandakan itu termasuk tanda sendiri dan dengan demikian merupakan suatu faktor linguistik.

Tanda-tanda tersebut kemudian dimaknai sebagai wujud dalam memahami kehidupan. Manusia melalui kemampuan akalnya berupaya berinteraksi dengan menggunakan tanda sebagai alat untuk berbagai tujuan, salah satu tujuan tersebut adalah untuk berkomunikasi dengan orang lain sebagai bentuk adaptasi dengan lingkungan.

Komunikasi bukan hanya sebagai proses, melainkan komunikasi sebagai pembangkitan makna (the generation of meaning) . Ketika kita berkomunikasi dengan orang lain, setidaknya orang lain tersebut memahami maksud pesan kita, kurang kebih secara tepat. Supaya komunikasi dapat terlaksana, maka kita harus membuat pesan dalam bentuk tanda (bahasa, kata). Pesan-pesan yang kita buat, medorong orang lain untuk menciptakan makna untuk dirinya sendiri yang terkait dalam beberapa hal dengan makna yang kita buat dalam pesan kita. Semakin banyak kita berbagi kode yang sama, makin banyak kita menggunakan sistim tanda yang sama, maka makin dekatlah “makna” kita dengan orang tersebut atas pesan yang datang pada masing-masing kita dengan orang lain tersebut.

Semiotik melihat kebudayaan sebagai sistem tanda yang oleh anggota masyarakatnya diberi makna sesuai dengan konvensi yang berlaku. Kebanyakan pakar dibidang semiotik melihat semiotik hanya sebagai perangkat teori untuk mengkaji tanda, yakni sebagai sistem yang hidup dalam suatu kebudayaan. Namun ada juga yang menganggap sebagai ilmu karena sudah dapat menunjukan dirinya sebagai suatu disipilin yang mandiri, sudah memiliki perangkat metodologi yang diturunkan dari teorinya, sudah dapat menghasilkan sejumlah hipotesis dan sudah dapat digunakan untuk melakukan prediksi.

NAMA: MARLIAN
NIM: 915070150

Selasa, 08 Juni 2010

ETIKA JURNALISTIK




Jurnalistik, pada hakikatnya, melupakan peristiwa di atas peristiwa. Ketika sebuah peristiwa baru diberitakan, maka pada saat itu pula kita – secara pelan-pelan atau spontan – dilupakan kepada peristiwa lain yang terjadi sebelumnya. Di saat ia mengingatkan kita akan sebuah peristiwa, di saat itu pula ia melupakan kita akan peristiwa yang lainnya. Demikianlah siklus ini berjalan terus dari hari ke hari, jam ke jam, detik ke detik.

Jurnalistik adalah “jembatan” masyarakat dengan sebuah kejadian atau peristiwa. Jika sebuah kejadian tidak pernah diberitakan melalui media, maka besar kemungkinannya masyarakat tidak akan pernah tahu bahwa kejadian tersebut pernah berlaku.
Jurnalistik tak hanya menyampaikan “kejadian pasif” seperti bencana gempa bumi atau peristiwa kecelakaan lalu lintas, tapi jurnalistik juga menyampaikan “peristiwa aktif” seperti perseteruan politik atau bentrokan polisi dan mahasiswa. Pada saat menyampaikan “peristiwa aktif” inilah sebuah perimbangan sumber berita dari kedua pihak sangat diperlukan. Jika tidak berimbang, maka itu akan mempengaruhi penilaian masyarakat terhadap berita tersebut, yang pada gilirannya juga akan berat sebelah.

Jurnalistik bukan pengadil atau hakim atas sebuah kasus atau peristiwa. Jurnalistik hanya menyampaikan fakta, masyarakat sendirilah yang akan menilai kejadian tersebut lebih lanjut. Oleh karenanya, dalam jurnalistik tidak dibenarkan memberikan penilaian atas sebuah kasus, kecuali penilaian itu berasal dari nara sumber wawancara. Dalam menyampaikan peristiwa, jurnalistik harus menyampaikan kronologis detil peristiwa tersebut, jangan dipotong-potong.


NAMA : EKA SHINTA
NIM : 915069011